Senin, Agustus 08, 2005

Tragedi Pilkada Depok

Tragedi Pilkada Depok
Oleh: A Zaini Bisri

MIMPI buruk apa yang dialami Nur Mahmudi Ismail, sehingga pengumuman KPUD yang menetapkannya sebagai wali kota Depok terpilih dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jabar? Bagaimana kasus ini harus diselesaikan sesuai koridor aturan pilkada?

Pembatalan hasil Pilkada Depok benar-benar mengejutkan. Pertama, faktor kejadian dan akibatnya (post factum). Kedua, putusan PT Jabar yang bukan memberikan kepastian hukum melainkan justru memicu kontroversi. Dan ketiga, peristiwa unik ini menimpa calon kepala daerah dari PKS, partai yang selama ini dinilai jauh atau menjauh dari konflik.

Kasus Pilkada Depok bisa dicatat sebagai peristiwa pertama dalam sejarah pilkada langsung yang hasilnya dibatalkan oleh putusan PT. Kasus ini sekaligus merupakan tragedi bagi Nur Mahmudi, mantan menteri kehutanan yang mau ''turun pangkat'' mengikuti kompetisi pemilihan wali kota Depok dan juga tragedi bagi demokrasi.

PT Jabar dalam putusannya pada 4 Agustus lalu telah menganulir keputusan KPUD Depok yang menetapkan pasangan Nur Mahmudi-Yuyus S sebagai pemenang pilkada dengan 232.610 suara, mengalahkan pasangan incumbent Badrul Kamal dan Syihabuddin dengan 206.781 suara. 

Lewat putusannya, PT Jabar telah membalikkan perbandingan perolehan suara itu menjadi 205.000 suara untuk Nur Mahmudi-Yuyun dan 269.408 suara untuk Badrul-Syihabuddin yang dicalonkan Partai Golkar dan PKB.

Perubahan jumlah perolehan suara antara yang ditetapkan oleh KPUD dan putusan PT Jabar terpaut sangat jauh. Dalam ketetapan KPUD, Nur Mahmudi-Yuyun unggul 25.829 suara. Adapun dalam versi putusan PT Jabar, Badrul-Syihabuddin ''dimenangkan'' dengan selisih 64.408 suara. 

Pemicu Konflik

Besarnya perubahan angka perolehan suara itu ditambah penyimpangan terhadap batas waktu penyelesaian sengketa pilkada sebagaimana diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah maupun Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 01/2005, menjadi sumber kecurigaan dan protes dari kubu Nur Mahmudi. 

Dua peraturan itu menggariskan, keberatan terhadap hasil perhitungan suara pilkada diproses dan diputuskan dalam waktu paling lambat 14 hari sejak pengaduan keberatan diajukan oleh calon. Pengajuan ditujukan ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil akhir pilkada.

Badrul mengajukan keberatan pada 12 Juli. Sesuai aturan, seharusnya PT Jabar sudah harus mengeluarkan putusan paling lambat 27 Juli. Namun kenyataannya baru 4 Agustus putusan itu dirampungkan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai reaksi negatif. Selain putusan PT Jabar dinilai cacat hukum, juga independensi dan kualitas hakimnya juga dipertanyakan.

Padahal, penyelesaian sengketa pilkada yang cepat dan murah seperti telah didesain dalam UU No 32/2004 maupun PP No 6/2005 dan Perma No 01/2005, semula dimaksudkan agar perselisihan pilkada dapat diselesaikan lewat jalur hukum dengan cepat dan memuaskan semua pihak. Namun dalam kasus Depok, putusan PT justru dinilai dapat menjadi pemicu eskalasi konflik pilkada yang lebih besar.

Pada umumnya, ragam konflik pilkada bersumber pada tiga penyebab, yakni masalah politik uang, persoalan administrasi pencalonan, dan sengketa penghitungan suara. 

Penyelesaian dua penyebab pertama tidak menyebabkan dibatalkannya hasil pilkada. Namun sengketa penghitungan suara dapat mengubah hasil pilkada, karena berdasarkan Pasal 3 ayat 1 Perma No 01/2005, keberatan atas hasil pilkada yang dapat diajukan ke pengadilan hanyalah yang berkaitan dengan hasil penghitungan suara.

Mungkinkah sengketa putusan PT Jabar dapat diselesaikan oleh MA? Ini pertanyaan penting karena salah satu alternatif penyelesaian, termasuk di dalamnya tuntutan massa pendukung Nur Mahmudi, diletakkan pada pundak MA. Ternyata, berdasarkan Perma tadi, bila dipandang perlu dan untuk menjaga independensinya, MA dapat menangani sendiri perselisihan pilkada. Dengan kata lain, hasil pendelegasiannya ke PT seharusnya dapat dikoreksi oleh MA. (46v)

- Penulis adalah wartawan Suara Merdeka dan Wakil Ketua Umum Tim Pemantau Pilkada Mapilu-PWI Jawa Tengah
(http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/08/nas09.htm)